Sampai hari ini saya masih heran, bahkan semakin hari semakin heran, kenapa waqaf al Qur’an itu terus diiklankan dan dikampanyekan? Semangat sekali menggalakkannya.
Kapankah berhentinya? Apakah mushhaf al Qur’an itu seperti goreng pisang bagi para penghafal dan pembacanya yang bisa habis kalau digunakan?
Di manakah umat Islam ini yang kekurangan mushhaf al Qur’an sekarang?
Saya lagi berada di pedalaman Mentawai yang penduduknya masih ada yang tidak bisa hanya sekedar beli sandal jepit, berjalan kaki puluhan kilo tanpa kendaraan, mereka para muallaf yang masih beternak babi, tapi mushhaf al Qur’an di masjid dusun mereka bisa dijadikan kasur saking banyaknya.
Apakah ada unsur bisnis di balik itu?
Dalam sekali kajian Shubuh saja saya saksikan di satu masjid jama’ahnya menyumbang 60 juta untuk waqaf al Qur’an yang digalang oleh sebuah lembaga charity. Saking hebat mereka menawarkan dengan iming-iming pahala yang mengalir terus, bagaikan air bah uang jama’ah mengucur.
Namun ketika diajak untuk menyumbang untuk guru yang akan mengajarkan al Qur’an, silahkan lihat bagaimana respon jama’ah?
Ajarilah umat ini dengan pemahaman yang benar dan sebenarnya. Jangan pemahaman yang mendatangkan cuan saja.
Bila kita memberi sedekah untuk dimakan, pahalanya sampai di sana saja. Besok pagi sudah dibuang di tandas, selesailah pahalanya. Tapi kalau kita sumbangkan sebuah mushhaf pahalanya akan mengalir terus selama mushhaf itu masih ada dan dibaca.
Mungkin benar bila kita waqafkan al Qur’an pahala akan selalu mengalir selama al Qur’an itu digunakan. Namun sekarang muncul pertanyaan: Apakah benar al Qur’an itu dibaca dan dihafal oleh penerima mushhaf? Atau hanya untuk pajangan dan hiasan?
Mungkin betul pahalanya akan mengalir terus karena betul-betul dibaca serta dihafal oleh penerimanya. Tapi pahala memberi makan penghafal al Qur’an atau guru yang menghafalkannya jauh lebih besar dari pada itu walaupun sekali saja.
Sebagai perumpamaan; bila mushhaf yang diwaqafkan, akan mengalir pahalanya terus menerus bagaikan air yang ada di paralon, selama dan sebanyak apapun mengalir tidak akan sampai selaut. Tapi ketika memberi makan penghafal dan pengajar al Qur’an pahalanya selaut sekaligus. Tidak bisa dibandingkan dengan pahala yang mengalir terus menerus.
Selain itu, apakah makanan yang dikonsumsi penghafal al Qur’an lewat begitu saja, tanpa jadi gizi dan sumber tenaga bagi mereka yang akan menjadi penyebab kelangsungan hidup mereka?